Rabu, 24 Februari 2010

Hukuman Bagi Para Koruptor

1. Menerima risywah dan penerimanya hukumnya adalah haram
2. Melakukan korupsi hukumnya haram
3. Memberi hadiah kepada pejabat
a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini, ada tiga kemungkinan;


1) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak aka nada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
2) Jika antarapemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila pemberian dimakud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang bathil (bukan haknya);
3) Jika pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum meupun sesudah pemberian hadiah dan pemberian itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang bathil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya

Manusia Yang Dzalim Adalah Yang Korupsi

Salah satu bentuk kezhaliman yang dilakukan manusia adalah suap-menyuap. Upaya tersebut biasa dilakukan seseorang dengan sesamanya dalam upaya memperoleh sesuatu yang diinginkannya. Suap-menyuap merupakan perbuatan yang dikutuk Allah karena dengan pelaku perbuatan tersebut telah menghalalkan sesuatu yang batil atau memebatalkan yang hak.
Ada beberapa istilah yang dipakai orang untuk mengemas “suap” diantaranya “uang pelicin”, “uang lelah” dan “uang administrasi” biasanya jumlah uang suap bervariasi tergantung dari perjanjian pihak yang bersepakat.

Budaya suap di Indonesia saat ini sudah menjadi virus sosial yang sangat berat dan telah menjalar mulai dari akar rumput sampai pada tingkat tertinggi tak terkecuali pengusaha. Para penguasa menggunakan suap untuk membujuk para pemilih agar mau memilih mereka menjadi pemimpin yang bisa terjadi saat menjelang pemilihan baik pemilihan umum, pilkada, sampai pilkades yang disebut dengan “serangan fajar.” Suap-menyuap juga dilakukan para mafia peradilan mulai dari hakim, pengacara, dan jaksa serta polisi. Demikian halnya suap-menyuap terjadi dalam penyaringan tenaga pegawai calon-calon pegawai negeri sipil dan kepala sekolah serta jabatan-jabatan lainnya. Bahkan, suap pun terjadi pada dunia pendidikan dimana ada orang tua membayar uang masuk sangat besar agar anaknya diterima di lembaga pendidikan yang diinginkan mulai dari tingkat SD, SLTP, SMU hingga perguruan tinggi. Sungguh merupakan suatu ‘aib yang memalukan karena bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama justru mengingkari norma-norma Tuhan yang tertuang dalam kitab suci.
Demi tercapainya pemberantasan tindak pidana korupsi yang epektif di Indonesia maka Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa tentang Suap (Risywah), Korupsi (Ghulu). Bahwa pengertian risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiahkepada pejabat atau menerima hadiah dari masyarakat, kini banyak dipertanyakan kembali oleh masyarakat. Bahwa oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum masalah dimaksud.

Firman Allah SWT yang artinya:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusa) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(Al-Baqarah :188)

Kaidah Fiqhiyah:

“Sesuatu yang haram mengambilnya haram pula memberikannya”

Jelasnya Larangan Korupsi

Disamping itu, perlu digaris bawahi tujuan penerapan hukum Islam, termasuk larangan ber-KKN, adalah untuk memelihara kemaslahatan (kebaikan dan kebahagiaan) menusia sekaligus menghindari mafsadat (ketidakmaslahatan, kesengsaraan dan kehancuran) baik di dunia dan di akhirat. Menurut ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan dalam rangka menegakan tujuan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta. Karena itu penetapan kriteria korupsi juga harus dapat diketahui dari perspektif maqashid al-syari’ah (tujuan penetapan hukum ) tersebut.
Atas dasar itu, maka kriteria korupsi dapat diformulasikan demikian, yakni suatu tindakan, baik berupa penyelewengan hak, kedudukan, wewenang atau jabatan yang dilakukan untuk mengutamakan kepentingan dan keuntungan pribadi,

menyalahgunakan (menghianati) “amanah” rakyat dan bangsa, memperturutkan “hawa nafsu” serakah untuk memperkaya diri dan mengabaikan kepentingan umum. Dan ditambahkan lagi Sembilan ciri pokok korupsi, yaitu : penghianatan terhadap kepercayaan; penipuan terhadap badan pemerintah; swasta atau masyarakat; melalaikan kepentingan umum demi kepentingan khusus; dilakukan dengan rahasia lewat persekongkolan kolektif; melibatkan lebih dari satu pihak; ada kewajiban dan keuntungan bersama; terputusnya kegiatan korupsi antara yang menghendaki keputusan pasti dan yang berwenang mempengaruhinya; ada usaha menutup-nutupi; berfungsi gandanya sang koruptor.
Alatas juga mengklasifikasikan korupsi menjadi tujuh macam yaitu korupsi transaksi, korupsi ekstorsi, korupsi investif, korupsi nepotis, korupsi defensi, korupsi otogenik dan korupsi suportif. Korupsi transaksi itu bertolak dari sikap bisnis dalam transaksi sosial. Ada ubi, ada talas. Ada budi, ada balas. Korupsi ekstortif (pemerasan, penghisapan) berupa pemaksaan korban bagai menyogok; jika tidak mau, korban akan lebih celaka. Korupsi defensif (membela diri) yaitu tindak penyuapan/penyogokan sebagai bagian dari pembelaan dirinya. Korupsi investif terjadi jika ada pengusaha atau pejabat “memelihara” pejabat lain dengan memenuhi hamper apa saja yang diminatinya, seperti tanpa maksud tertentu. Tetapi ialah minta perlindungan atau jasa baik kapan saja tiba saatnya dia butuhkan, misalnya saja, saat menghadapi kesulitan, kecurangannya diperkarakan dan sebagainya. Korupsi nepotis adalah penunjukan secara tidak sah, teman sanak saudara untuk memberi pekerjaan atau borongan, kemudahan atau uang secara bertentangandengan norma dan peraturan yang berlaku. Korupsi otogenik adalah jia karena jabatan dan wewenang, seseorang membuat keputusan atau peraturan yang manfaat keputusannya san kebijakan itu diminati sendiri. Sedangkan korupsi supportif adalah “pembackingan” suatu tindakan korupsi dengan harapan memperoleh keuntungan dari pelaku utama.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang mengandung unsur pengkhianatan amanah (kepercayan), penyuapan, pembackingan, pemaksaan (tekanan-tekanan dari pihak yang lebih berkuasa), nepotism dan depotis, pengutamaan kepentingan pribadi, pembudayaan bagi komisi, penetapan keputusan atau kebijakan sepihak (menguntungkan pihak tertentu), intransparansi, pemerasan dan penggelapan, pemyalahgunaan kekuasaan, jabatan, kedudukan dan wewenang,dan merugikan kepentingan orang lain atau umum, serta melanggar aturan normative dan moral kemanusiaan.

Dalam hadits telah diriwayatkan mengenai larangan suap-menyuap :

Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata :”Rasulullah saw. Melaknat (membenci) orang yang menyuap dan orang yang menerima suap dalam masalah hukum (pengambilan keputusan)”.(HR.Ahmad dan Empat orang ahli hadits, serta Turmudzi menilainya sebagai hadits hasan dan disahkan oleh Ibnu Hibban).