Selasa, 23 Februari 2010

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dengan terbentuknya kabinet Habibie yang Muladi menjadi Menteri Kehakiman pada tahun 1998, dicanangkan untuk mempercepat penciptaan undang-undang. Dalam waktu singkat,kurang dri dua tahun, pemerintahan ini menciptakan undang-undang sama banyaknya dengan sepuluh tahun pemerintahan soeharto. Penciptaan undang-undang yang diutamakan antara lain perubahan atau penggantian Undang-undang No. 31 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rupanya bahwa anggapan bahwa yang kurang sempurna sehingga terjadi banyak korupsi ialah undang-undangnya padahal “orangnya” dan “sistemnya.”

Tim yang pertama dibentuk oleh Barda Nawawi Arief dan mengambil tempat di puncak, yang anggotanya antara lain: Loebby Loqman dan penulis bersama dengan orang-orang dari Departemen Kehakiman sendiri seperti Haryono dan Wahid. Setelah dipandang sudah lengkap antara lain dengan menciptakan minimum khusus, yang meliputu baik pidana penjara maupun pidana denda, pembedaan ancaman pidana bagi setiap delik sesuai dengan bobot delik itu serta kualifikasinya (usulan penulis), penambahan bahan peranan masyarakat yang diusulkan oleh Wahid, maka diadakanlah Tim Inter Departemen yang diketuai oleh Penulis dan mengadakan rapat di Departemen Kehakiman pada kuartal pertama tahun 1999. sekitar bulan Juli 1999 dibahaslah Rancangan ini di DPR. Pemerintah diawali oleh Menteri Muladi sendiri disertai dengan Dirjen Perundang-undangan Romli, penulis dan Loebby Loqman.
Dalam pembahasan di Pansus DPR itulah ditambahkan tentang pidana mati khusus untuk delik yang tercantum dalam Pasal 2 dalam keadaan “tertentu” yang kemudian dijelaskan apa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” itu seperti bencana alam nasional, keadaan bahaya dan krisis moneter dan ekonomi. Selain itu, ditambahkan pula tentang akan dibentuknya Komisi PPemberantasan Korupsi dalam waktu dua tahun setelah Undang-undang ini diundangkan. Usul ini berasal dari Fraksi PPP (Zain Badjeber). Sementara itu, rumusan tentang pembalikan beban pembuktian yang disusun oleh penulis ditolak, baik oleh sebagian anggota DPR maupun oleh menteri sendiri karena dipandang tidak jelas dan melanggar asas legalitas. Sewaktu pembahasan pidana mati dan penghapusan ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian yang disusun oleh penulis ini, penulis tidak hadir sehingga tidak sempat untuk mempertahankannya. Juga tentang ketentuan pidana mati dalam “keadaan tertentu” penulis merasa kurang tepat.
Dengan demikian, Undang-undang No. 31 tahun 1999 adalah undang-undang yang paling keras dan berat di ASEAN. Sayang, ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian tidak diterima. Andaikata diterima, tidak perlu diciptakan ancaman pidana demikian beratnya selama semua pelanggar dapat diajukan ke pengadilan dan semua kerugian Negara dapat dikembalikan ke kas Negara, sebagaimana berlaku di Malaysia dan Hongkong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar