Selasa, 02 Maret 2010

Perbandingan Antara Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Pemberantasan Korupsi

Persamaan antara hukum positif dan hukum Islam terhadap pemberantasan korupsi adalah Pemerintahan Indonesia sudah banyak melakukan langkah-langkah untuk meberantas korupsi dengan bukti bahwa pemerintah sudah banyak mengeluarkan peraturan /Undang-Undang antara lain; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002. Demikian juga dari hukum Islam sudah sejak lama larangan korupsi telah ada, sebagaimana dalam Firman Allah telah dijelaskan bahwa:“Dan janganlah sebagian kamu mamakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. ” (Al-Baqarah; 188) . “ …Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu…” (Ali ‘Imran: 3). Agama Islam juga telah menetapkan sanksi yang sangat keras terhadap korupsi (pencuri) dengan memberlakukan hukuman potong tangan, dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
.

Photobucket

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana" (QS. Al-Maidah: 38).

Secara konstitutional, perpu diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Pengakuan itu dapat dibaca dalam pasal 22 UUD 1945 yang menentukan: (1) dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menentukan peraturan pemerintan sebagai pengganti undang-undang, (2) peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Jika dibaca hasil amademen, pasal 22 UUD 1945 merupakan salah satu dari sedikit pasal yang tidak mengalami perubahan. Artinya, perpu merupakan bagian kebutuhan penyelenggaraan Negara. Dari hierarki peraturan perundang-undangan, selama penyelenggaraan Negara di bawah Undang-Undang Dasar 1945 kecuali dalam Tap MPR No III/ MPR/2000 yang sudah tidak berlaku lagi- perpu setingkat UU. Bahkan, dalam pasal 9 UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan, materi muatan perpu sama dengan mentari muatan UU.
Namun, masalahnya bukan pada eksistensi. Masalahnya ada pada alasan yang dapat membenarkan kehadiran perpu sebagai emergency law. Alasan ini menjadi amat penting karena Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 menghendaki kondisi atau hal ihwal kepentingan yang memaksa. Dalam pandangan Jimly Asshidiqie (2002), persyaratan “kepentingan yang memaksa” ini sering menimbulkan penafsiran meluas. Selama ini, banyak perpu yang ditetapkan pemerintah, tetapi keadaan kepentingan memaksa yang menjadi dasar penetapannya tidak jelas.
Jika diperhatikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi itu dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu korupsi aktif dan pasif. Yang dimaksud dengan korupsi aktif dan pasif adalah sebagai berikut:
1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
3. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
4. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
5. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu dengan sengaja menerapkan, menghancurkan, merusakan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau untuk membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya, atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Sudah banyak langkah teoritis dan praktis dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi. Di era Soeharto, telah dua kali dilakukan usaha pemberantasan korupsi, antara lain perangkat Undang-Undang Keadaan Bahaya dengan produknya, Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara) yang bertugas melakukan pendataan kekayaan para pejabat. Juga “Operasi Budhi” yang bertugas meneliti secara mendalam tentang korupsi di lembaga-lembaga Negara yang rawan melakukan praktik korupsi seperti pertamina. Semua gagal lantaran pejabat bersangkutan enggan diperiksa.
Di era reformasi, pemerintah mengeluatkan Undang-Undang Nomor. 28 Tahun 1999 Tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN. Lalu ditindaklanjuti pembentukan KPKPN dan Lembaga Ombudsman. Sayang, dua badan itu bagai macan ompong. Oleh karena itu, agar pekerjaan badan pemberantasan korupsi tidak stagnan, dibutuhkan agen khusus antikorupsi yang independent. Menurut Robert Klitgaard, agen ini harus menjaga kerajaannya dari campur tangan semua pihak dan orang-orang yang terliba di dalamnya harus bersih dan dipercaya publik. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat akan kinerja mereka akan mudah diperoleh.
Hasil temuan agen tersebut harus segera ditindaklanjuti aparat pemerintah dengan tindakan tegas dan cepat. Pengalaman Pemerintah Filipina yang berani dan tegas orang-orang yang korup di negaranya, Vietnam yang tegas menghukum mati menteri yang terbukti bebuat korupsi, atau Korea Utara yang tidak sungkan menghukum berat mantan perdana menterinya, serta Cina yang telah menghukum mati lebih 4.300 koruptor tahun 2002, sebuah contoh yang sangant pantas untuk ditiru dan direnungkan.
Dalam rangka memberantas KKN, Islam secara tegas dan jelas memandang penting dan terpadunya antara iman dan amal, ibadah ritual dan amalan sosial, pelaksanaan syari’at dan akhlak dalam tatanan individu dalam masyarakat. Karena itu, pemberdayaan dan fungsionalisasi ibadah ritual (seperti Shalat, puasa, haji, zikir dan do’a) mutlak diperlukan dan dikontekstualisasikan dalam kehidupan social. Al-Qur’an mengajarkan bagaimana seharusnya orang yang melaksanakan shalat secara baik. Selain harus memenuhi syarat dan rukun formalnya, shalat juga harus ditindaklanjuti dengan prilaku moral yang terpuji. Karena itu, Nabi Muhammad saw. Juga mewanti-wanti umatnya: “Tidak dianggap shalat orang yang shalatnya tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar.” (HR. al-Bukhari dan Muslaim).
Oleh Karena sosio-politik komponen bernegara iru terdiri dari pemimpin dan rakyat, maka dalam mengantisipasi tindakan ber KKNdiperlukan reformasi imam dan moral kedua komponen bangsa tersebut (ishah al-rai wa al-ra’iyyah, menurut terminolog Ibn Taimiyah). Reformasi imam dan moral adalah pembaharuan dan pemberdayaan nilai imam (keyakinan terhadap kebenaran akan Kemahaesaan Tuhan) dalam tataran kehidupan yang lebih fungsional. Selama ini, iman baru sekedar “kosmetika dan retorika individual”, bahkan menurut sementara kalangan, iman adalah urusan pribadi manusia dengan Tuhan. Iman (tauhid) yang bersifat individual ini tampaknya kering makna, atau tidak fungsional dalam melahirkan amal social yang bermoral. Seharusnya iman pemimpin dan rakyat membawa kepada nilai-nilai berikut. Oleh karena iman menghendaki sebuah kesaksian (syahadat) akan kebenaran (Al-Haqq) tauhid antara al-Khaliq (pencipta) dan al-Makhluq, maka orang beriman seyogyanya mempunyai kesatuan visi dalam mengemban amanah kehidupan (termasuk kehidupan sosial, politik dan ekonomi), sehingga dari amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan manusia dan Allah timbul I’tikad baik dan komitmen kuat untuk mensosialisasikan rasa aman dan damai dalam kehidupan ini. Pada giliran iman yang dipadu dengan sikap mental amanah dan semangat mewujudkan keamanan melahirkan sikap dan perilaku yang penuh pertimbangan moral: kejujuran, keadilan, keterbukaan, kebersamaan, persamaan, persaudaraan, persatuan,dan sebagainya.
Dan dalam hadits telah diterangkan larangan suap-menyuap dan menerima hadiah “Hadits Abu Humaid al-Sa’idiy bahwa Rasulullah saw, mempekerjakan seseorang pegawai itu, kemudian pegawai mendatanginya ketika selesai dari pekerjaannya. Kemudian, ia (Nabi) berkata kepadanya: “apakah engkau tinggal di rumah bapakmu dan ibumu, lalu engkau perhatikan apakah engkau deberikan hadiah atau tidak? Kemudian Rasulullah saw., berdiri setelah shalat disore hari. Kemudian dia membaca syahadat dan memuju Allah segala hal yang pantas untuk-Nya. Lalu ia bersabda: ‘Amma ba’du, apakah (faktor yang mendorong) si pegawai yang kami suruh lalu berkata “ini (upah) dari pekerjaanmu, dan ini hadiah untukku, padahal ia tinggal di rumah bapak dan ibunya. Kemudian dia berpikir apakah ia diberi hadiah atau tidak? Maka, demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, janganlah salah seorang diantaramu berkhianat (dengan mengambil) sesuatu dari hadiah kecuali pada hari kiamat nanti dia akan datang membewanya di atas pundaknya. Apabila (hadiah itu) berupa seekor unta, maka datang kepadanya berupa suara unta, jika (hadiah itu) berupa seekor sapi, maka akan datang kepadanya suara sapi, dan jika (hadiah itu)berupa seekor kambing, maka datang kepadanya suara kambing mengembik. Sesungguhnya aku telah menyampaikan hal itu”. Lalu Abu Humaid berkata: ”kemudian Rasulullah saw., mengangkat tangannya sehingga kami melihat bulu kedua ketiaknya”. (Ditakhrij oleh al-Bukhari dalam kitab al-aiman wa aj-Nuzur bab kaifah kanat yamin al-Nabi saw).
Agar supaya usaha pemberantasan korupsi memperoleh hasil yang maksimal dan berdaya guna, menurut penulis perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Bahwa dalam pemberantasan korupsi ini pemerintah harus menggabungkan hukum positif dengan hukum Islam secara bersamaan karena, dengan adanya penggabungan antara hukum positif dengan hukum Islam maka terbentuklah suatu peraturan yang efektif untuk memberantas korupsi yang sedang terjadi di negara Indonesia.
b. Penjatuhan hukuman terhadap para koruptor yang terbukti melakukan korupsi, di samping dapat menimbulkan rasa jera pada pelakunya, juga harus dapat memberikan dampak yang lebih jauh yaitu berkembangnya sanksi sosial dan moral, sehingga timbul rasa malu dan takut untuk melakukan korupsi.
c. Pejabat-pejabat yang bermental korupsi harus disingkirkan dari pemerintahan karena, dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi pejabat-pejabat pemerintah yang lain.
d. Berilah penerangan dan penyuluhan hukum kepada warga masyarakat sehingga masyarakat menyadariakan bahayanya akibat perbuatan korupsi bagi kelangsungan pembangunan Nasional, dan dengan maksud agar warga masyarakat turut pula membantu dalam rangka pemberantasan korupsi melalui saluran hukum.

Kamis, 25 Februari 2010

Peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi selalu berganti-ganti

Bahwa peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi telah silih berganti diberlakukan, selalu yang belakangan memperbaiki dan menambah yang dahulu, akan tetapi korupsi dalam segala bentuknya masih terus merajalela. Akibatnya mengandung pertanyaan, apakah merajalelanya korupsi di Indonesia itu disebabkan oleh kurang lengkap dan kurang efektifnya ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi ataukah disebabkan oleh faktor-faktor lain?

Seperti telah diketahui bahwa masalah korupsi adalah masalah yang menarik perhatian masyarakat dan hal ini dapat dimengerti karena perbuatan korupsi berkaitan dengan kekayaan/keuangan negara dan berkaitan pula dengan kepentingan warga masyarakat yaitu dalam rangka kelangsungan pembangunan nasional. Sejak lahirnya Orde Baru tahun 1966, suara-suara yang menghendaki pemberantasan korupsi semakin menghebat, baik dalam bentuk berita maupun karangan-karangan di surat-surat kabar, majalah-majalah, begitu pula dalam bentuk pertemuan, diskusinya yang bertemakan pemberantasan korupsi.
Berdasarkan data yang terungkap, seperti yang telah dimuat di surat-surat kabar maupun majalah-majalah Ibukota/Daerah, menunjukan bahwa intensitas perkara korupsi di Indonesia sudah demikian luasnya, terutama dan yang paling menonjol ialah korupsi yang menyangkut anggaran proyek reboisasi, PRPTE, transmigrasi, koperasi, perpajakan kredit bimas/inmas, departemen sosial, pajak daerah (dispenda), dan disektor-sektor lainnya yang menimbulkan kerugian bagi negara dalam jumlah milyaran rupiah
Persoalan korupsi lebih cenderung dijadikan mata dagangan politik dibandingkan pemberantasannya secara nyata, demi pemeratraan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Upaya pemerintah dalam menangkal terjadinya tindakan korupsi sudah diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun2001, bahkan upaya pencegahan lain di luar undang-undang pun juga sudah dilakukan.
Pada saat aparat penegak hukum mengetahui atau menerima suatu laporan tentang terjadinya suatu tindak pidana korupsi, pertama-tama yang harus dilakukan ialah mengumpulkan bahan-bahan untuk pembuktian di muka pengadilan kelak, dan sekaligus menelusuri kekayaan tersangka yang diduga diperoleh dari perbuatan korupsi. Langkah ini sangat penting, karena pada saat seseorang mengetahui ia akan diusut, maka pertama-tama yang diupayakan ialah memindahkan kekayaannya dengan berbagai macam cara.
Cara yang umum dilakukan oleh tersangka ialah bila kekayaannya berupa tanah atau rumah, biasanya cepat-cepat menjual atau pura-pura menjual kekayaannya tersebut. Yang penting ialah tersangka akan mengusahakan menerbitkan sertifikat (tanda kepemilikan) baru atas tanah/rumah itu atas nama orang lain agar dapat luput dari tindakan penyitaan oleh para penegak hukum. Kalau berupa uang yang ia simpan, ia akan berusaha memindahkan kekayaannya itu dari tangannya atau kalu disimpan di bak cepatcepat uang itu ditarik kembali dan dipindahkan ke tangan orang lain (biasanya kepada familinya atau kenalan karibnya ia yakini tidak akan menipunya).
Adakalanya kalau ia cepat ditangkap/ditahan, sehingga ia sendiri tidak sempat memindahkan atau membaliknamakan kekayaannya itu kepada orang lain, maka pada saat sementara ia diperiksa oleh aparat penegak hukum, pihak keluarganya atas ptunjuknya berusaha menjual (memindahtangankan) kekayaan itu. Ia tidak mempredulikan lagi berapa hasil penjualan kekayaannya itu, karena yang penting ia dapat memindahkan kekayaannya seolah-olah bukan lagi miliknya. Tujuannya ialah agar ia luput dari penyitaan sementara oleh aparat penegak hukum.
Sayangnya, sejarah kampanye anti korupsi di seluruh dunia tidak menggembirakan. Di tingkat nasional dan daerah, di tingkat kementrian, dan di tingkat organisasi seperti kepolisian, upaya anti-korupsi besar-besaran sekalipun dan telah tersebar luas dalam masyarakat cenderung tersendat-sendat, terhenti, dan dan akhirnya mengecewakan.
Pola upaya anti-korupsi yang khas seperti ini. Terjadi sebuah skandal. Misalnya, seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah dijatuhi hukuman karena menerima suap. Atau kepolisian terbukti bekerja sama dengan penjahat. Program pekerjaan umum dibebani biaya yang terus meningkat, akibat penyelewengan dan komisi bagi pejabat. Perusahaan-perusahaan peserta lelang proyek-proyek pemerintah daerah ternyata berkolusi antara sesame mereka, untuk membatasi persaingan dan menaikkan nilai kontrak.
Menurut pendapat Gunner Myrdal sepenuhnya bahwa jalan untuk memberantas korupsi di Negara-negara berkembang ialah sebagai berikut:
b. menaikan gaji pegawai rendah (dan menengah);
c. menaikan moral pegawai tinggi;
d. legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.
Untuk mencegah terjadinya korupsi besar-besaran, bagi pejabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyarakat, pendapatan Negara, penegak hukum, dan pembuat kebijaksanaan harus di daftar kekayaannya sebelum menjabat jabatannya sehingga mudah diperiksa pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang resmi.

Sudah Efektifkah Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku sekarang adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya telah dijelaskan pasal demi pasal. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Kasus-kasus korupsi di Indonesia sudah banyak sekali, diantaranya adalah : kasus BUMN telah menjual tanah negara yang merupakan aset Negara, kasus panitera pada salah satu Pengadilan Negeri di Jakarta adalah panitera dalam perkara penipuan dengan terdakwa,Kasus dana Kampanye, Kasus korupsi Al Amin, Kasus dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Dari semua kasus yang ada hanya beberapa persen saja yang telah diperiksa dan di putus oleh petugas yang berwenang, dan kasus yang lagi hot sekarang yaitu kasus Bank Century.

Pemerintah telah berusaha sekeras-kerasnya mengefektifkan pemberantasan korupsi, pada era Soeharto, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK).diketahui Jaksa Agung. Hal lainnya, membentuk Komite Empat yang terdiri dari tokoh tua yang bersih, serta Operasi Tertib yang diketahui Soedomo. Seperti sebelumnya, lembaga tersebut lamban bekerja dan tak maksimal hasilnya. Di era reformasi, pemerintah mengeluatkan Undang-Undang Nomor. 28 Tahun 1999 Tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN. Lalu ditindaklanjuti pembentukan KPKPN dan Lembaga Ombudsman. Sayang, dua badan itu bagai macan ompong.
Upaya anti-korupsi banyak yang gagal karena pendekatan yang semata-mata bersifat pendekatan hukum, atau terlalu bertumpu pada himbauan moral. Kadang-kadang upaya anti korupsi dilakukan setengah hati karena “tujuan alasan” yang tercantum dalam kotak 2. kadang-kadang upaya anti-korupsi itu sendiri berubah menjadi alat yang kotor untuk menjatuhkan lawan atau menyeret lawan ke dalam penjara.
Dalam instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan Pemberantasan Korupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perintah khusus kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyiapakn rumusan amandemen undang-undang dalam rangka sinkronisasi dan optimalisasi upaya pemberantasan korupsi. Selain itu Presiden SBY juga menginstruksikan agar menyaipak rancangan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk pelaksanaan undang-undang (UU) yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Guna mewujudkan instruksi itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Hamid Awaluddin tengah menyelesaikan rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bahkan,berdasarkan menkum dan HAM, draf perpu itu sudah dalam tahap final, tinggal didiskusikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara RI.

Rabu, 24 Februari 2010

Hukuman Bagi Para Koruptor

1. Menerima risywah dan penerimanya hukumnya adalah haram
2. Melakukan korupsi hukumnya haram
3. Memberi hadiah kepada pejabat
a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini, ada tiga kemungkinan;


1) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak aka nada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
2) Jika antarapemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila pemberian dimakud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang bathil (bukan haknya);
3) Jika pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum meupun sesudah pemberian hadiah dan pemberian itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang bathil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya

Manusia Yang Dzalim Adalah Yang Korupsi

Salah satu bentuk kezhaliman yang dilakukan manusia adalah suap-menyuap. Upaya tersebut biasa dilakukan seseorang dengan sesamanya dalam upaya memperoleh sesuatu yang diinginkannya. Suap-menyuap merupakan perbuatan yang dikutuk Allah karena dengan pelaku perbuatan tersebut telah menghalalkan sesuatu yang batil atau memebatalkan yang hak.
Ada beberapa istilah yang dipakai orang untuk mengemas “suap” diantaranya “uang pelicin”, “uang lelah” dan “uang administrasi” biasanya jumlah uang suap bervariasi tergantung dari perjanjian pihak yang bersepakat.

Budaya suap di Indonesia saat ini sudah menjadi virus sosial yang sangat berat dan telah menjalar mulai dari akar rumput sampai pada tingkat tertinggi tak terkecuali pengusaha. Para penguasa menggunakan suap untuk membujuk para pemilih agar mau memilih mereka menjadi pemimpin yang bisa terjadi saat menjelang pemilihan baik pemilihan umum, pilkada, sampai pilkades yang disebut dengan “serangan fajar.” Suap-menyuap juga dilakukan para mafia peradilan mulai dari hakim, pengacara, dan jaksa serta polisi. Demikian halnya suap-menyuap terjadi dalam penyaringan tenaga pegawai calon-calon pegawai negeri sipil dan kepala sekolah serta jabatan-jabatan lainnya. Bahkan, suap pun terjadi pada dunia pendidikan dimana ada orang tua membayar uang masuk sangat besar agar anaknya diterima di lembaga pendidikan yang diinginkan mulai dari tingkat SD, SLTP, SMU hingga perguruan tinggi. Sungguh merupakan suatu ‘aib yang memalukan karena bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama justru mengingkari norma-norma Tuhan yang tertuang dalam kitab suci.
Demi tercapainya pemberantasan tindak pidana korupsi yang epektif di Indonesia maka Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa tentang Suap (Risywah), Korupsi (Ghulu). Bahwa pengertian risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiahkepada pejabat atau menerima hadiah dari masyarakat, kini banyak dipertanyakan kembali oleh masyarakat. Bahwa oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum masalah dimaksud.

Firman Allah SWT yang artinya:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusa) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(Al-Baqarah :188)

Kaidah Fiqhiyah:

“Sesuatu yang haram mengambilnya haram pula memberikannya”

Jelasnya Larangan Korupsi

Disamping itu, perlu digaris bawahi tujuan penerapan hukum Islam, termasuk larangan ber-KKN, adalah untuk memelihara kemaslahatan (kebaikan dan kebahagiaan) menusia sekaligus menghindari mafsadat (ketidakmaslahatan, kesengsaraan dan kehancuran) baik di dunia dan di akhirat. Menurut ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan dalam rangka menegakan tujuan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta. Karena itu penetapan kriteria korupsi juga harus dapat diketahui dari perspektif maqashid al-syari’ah (tujuan penetapan hukum ) tersebut.
Atas dasar itu, maka kriteria korupsi dapat diformulasikan demikian, yakni suatu tindakan, baik berupa penyelewengan hak, kedudukan, wewenang atau jabatan yang dilakukan untuk mengutamakan kepentingan dan keuntungan pribadi,

menyalahgunakan (menghianati) “amanah” rakyat dan bangsa, memperturutkan “hawa nafsu” serakah untuk memperkaya diri dan mengabaikan kepentingan umum. Dan ditambahkan lagi Sembilan ciri pokok korupsi, yaitu : penghianatan terhadap kepercayaan; penipuan terhadap badan pemerintah; swasta atau masyarakat; melalaikan kepentingan umum demi kepentingan khusus; dilakukan dengan rahasia lewat persekongkolan kolektif; melibatkan lebih dari satu pihak; ada kewajiban dan keuntungan bersama; terputusnya kegiatan korupsi antara yang menghendaki keputusan pasti dan yang berwenang mempengaruhinya; ada usaha menutup-nutupi; berfungsi gandanya sang koruptor.
Alatas juga mengklasifikasikan korupsi menjadi tujuh macam yaitu korupsi transaksi, korupsi ekstorsi, korupsi investif, korupsi nepotis, korupsi defensi, korupsi otogenik dan korupsi suportif. Korupsi transaksi itu bertolak dari sikap bisnis dalam transaksi sosial. Ada ubi, ada talas. Ada budi, ada balas. Korupsi ekstortif (pemerasan, penghisapan) berupa pemaksaan korban bagai menyogok; jika tidak mau, korban akan lebih celaka. Korupsi defensif (membela diri) yaitu tindak penyuapan/penyogokan sebagai bagian dari pembelaan dirinya. Korupsi investif terjadi jika ada pengusaha atau pejabat “memelihara” pejabat lain dengan memenuhi hamper apa saja yang diminatinya, seperti tanpa maksud tertentu. Tetapi ialah minta perlindungan atau jasa baik kapan saja tiba saatnya dia butuhkan, misalnya saja, saat menghadapi kesulitan, kecurangannya diperkarakan dan sebagainya. Korupsi nepotis adalah penunjukan secara tidak sah, teman sanak saudara untuk memberi pekerjaan atau borongan, kemudahan atau uang secara bertentangandengan norma dan peraturan yang berlaku. Korupsi otogenik adalah jia karena jabatan dan wewenang, seseorang membuat keputusan atau peraturan yang manfaat keputusannya san kebijakan itu diminati sendiri. Sedangkan korupsi supportif adalah “pembackingan” suatu tindakan korupsi dengan harapan memperoleh keuntungan dari pelaku utama.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang mengandung unsur pengkhianatan amanah (kepercayan), penyuapan, pembackingan, pemaksaan (tekanan-tekanan dari pihak yang lebih berkuasa), nepotism dan depotis, pengutamaan kepentingan pribadi, pembudayaan bagi komisi, penetapan keputusan atau kebijakan sepihak (menguntungkan pihak tertentu), intransparansi, pemerasan dan penggelapan, pemyalahgunaan kekuasaan, jabatan, kedudukan dan wewenang,dan merugikan kepentingan orang lain atau umum, serta melanggar aturan normative dan moral kemanusiaan.

Dalam hadits telah diriwayatkan mengenai larangan suap-menyuap :

Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata :”Rasulullah saw. Melaknat (membenci) orang yang menyuap dan orang yang menerima suap dalam masalah hukum (pengambilan keputusan)”.(HR.Ahmad dan Empat orang ahli hadits, serta Turmudzi menilainya sebagai hadits hasan dan disahkan oleh Ibnu Hibban).

Pemberantasan korupsi menurut hukum Islam

Dalam kehidupan masyarakat merupakan sebuah tradisi adanya saling memberi antara sesama. Bentuk pemberian itu berkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi seperti ulang tahun, kenduri, atau satu hari raya besar. Pemberian itu bias diberikan hadiah. Namun, pemberian hadiah itu terjadi pula dari masyarakat kepada para pejabat (pegawai pemerintah) yang sifatnya bukan sesuatu yang rutin dalam jumlah yang tidak wajar jika dinilai sebagai pemberian biasa.

Nabi Muhammad SAW diutus memperbaiki akhlak dan intinya ialah kejujuran. Kita tahu, kejujuran ialah dasar kahidupan manusia, baik pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Di masyarakat yang langka kejujuran, rasa saling percaya juga rendah (Low-trust society). Masyarakat seperti itu pada hakikatnya bukan masyarakat yang religius. Agama islam memberi pegangan untuk memilih pemimpin yaitu siddiq (Jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (propesional), dan fathonah (cerdas). Saya yakin agama lain juga mempunyai pedoman serupa. Kehancuran bangsa Indonesia diakibatkan oleh korupsi, akibat ulah pemimpin kita yang cerdas, profesional tetapi tidak dapat dipercaya dan jujur.
Kalau pemimpin dan pejabat mampu menjadi teladan untuk bersih dari perbuatan korupsi, hal ini sangat membantu. Kalau golongan atas sudah bersih, diharapkan pejabat-pejabat menengah ke bawah pun akan berbuat hal yang sama. Dalam hubungan keteladanan ini perlu kiranya kita ingant kembali salah satu hadits Rasulullah yang intinya akan memperoleh terus amal bagi seseorang yang mampu memberi teladan yang posotif kepada sesamanya, dan sebaliknya akan terus diganjar dosa diikuti dengan siksaan yang pedih bagi seseorang yang memberi contoh perbuatan tidak terpuji bagi sesamanya.
Tidak diragukan, peringantan Rasulullah ini termasuk ditujukan kepada para pejabat/pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya dan melakukan kolusi dan korupsi, sehingga diikuti oleh bawahannya. Larangan ber-KKN sebagaimana dipahami dari ajaran agama tersebut jelas menunjukan bahwa KKN melanggar hukum (tidak sah, batil), berlaku aniaya (kedzalima, tidak mermoral) dalam arti merugikan pihak lain, dan melanggar hak-hak asasi manusia (tidak berprinsip kebebasan dan keterbukaan dalam bermuamalah). Oleh karena itu, dalam ayat Al-Qur’an Allah menetapkan prinsip bermuamalah sosial, ekonomi dan politik:

Artinya: Dan tolong- menolonglah (kerjasama ) kamu dalam rangka (membudayakan) kebaikan dan taqwa; sebaiknya jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran hukum (Al-Maidah : 2)

Selasa, 23 Februari 2010

Pemberantasan Korupsi Menurut Hukum Positif

Dalam instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan Pemberantasan Korupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perintah khusus kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyiapkan rumusan amandemen undang-undang dalam rangka sinkronisasi dan optimalisasi upaya pemberantasan korupsi.

Selain itu Presiden juga menginstruksikan agar menyaipkan rancangan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk pelaksanaan undang-undang (UU) yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Guna mewujudkan instruksi itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Hamid Awaluddin tengah menyelesaikan rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bahkan,berdasarkan menkum dan HAM, draf perpu itu sudah dalam tahap final, tinggal didiskusikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara RI. Sejauh bisa diamati, harus semua kalangan menyambut positif terobosan yang akan dilakukan pemerintah. Namun, masih ada perdebatan mendasar, yaitu rencana menuangkan terobosan ke dalam paying hukum berbentuk perpu dan beberapa substansi yang cukup potensial melindungi pelaku korupsi.
Secara konstitutional, perpu diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Pengakuan itu dapat dibaca dalam pasal 22 UUD 1945 yang menentukan: (1) dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menentukan peraturan pemerintan sebagai pengganti undang-undang, (2) peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Jika dibaca hasil amademen, pasal 22 UUD 1945 merupakan salah satu dari sedikit pasal yang tidak mengalami perubahan. Artinya, perpu merupakan bagian kebutuhan penyelenggaraan negara. Dari hierarki peraturan perundang-undangan, selama penyelenggaraan Negara di bawah Undang-Undang Dasar 1945 kecuali dalam Tap MPR No III/ MPR/2000 yang sudah tidak berlaku lagi- perpu setingkat UU. Bahkan, dalam pasal 9 UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan, materi muatan perpu sama dengan mentari muatan UU.
Namun, masalahnya bukan pada eksistensi. Masalahnya ada pada alasan yang dapat membenarkan kehadiran perpu sebagai emergency law. Alasan ini menjadi amat penting karena Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 menghendaki kondisi atau hal ihwal kepentingan yang memaksa. Terkait hal itu, Bagir Manan dalam Teori dan politik Konstitusi (2004) mengemukakan, “hal ihwal kegentingan yang memaksa” merupakan syarat konstitusi yang menjadi dasar wewenang presiden menetapkan perpu. Jika tidak dapat menunjukan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perpu. Perpu yang ditetapkan tanpa ada hal ihwal kegentingan yang memaksa batal demi hukum karena melanggar asas legalitas, yaitu dibuat tanpa wewenang.
Selanjutnya, hal ihwal kegentingan yang memaksa harus menunjukan beberapa syarat adanya krisis yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Karena itu, muatan perpu hanya terbatas pada administratiefrectelijk bukan bidang ketatanegaraan (staatsrechtelijk).Pertimbangan lain, perpu hanya dapat ditetapkan saat DPR dalam masa reses.
Jika berpegang pada pendapat di atas pemeritah harus mampu menjelaskan bahwa Selama ini kelemahan aturan hukum telah membawa negeri ini dalam keadaan darurat.Keadaan darurat tidak harus dalam pengertian perang atau bencana alam, tetapi amat mungkin keadaan darurat yang ditimbulkan oleh praktik korupsi. Sekiranya pemerintah mampu menjelaskan keadaan yang dimaksud, perpu yang akan ditertibkan tak akan kekurangan pijakan konstitutional.
Argumentasi ihwal kegentingan yang memaksa tidak hanya diperlukan guna memenuhi alasan konstitutional, tetapi juga terkait alasan-alasan yang harus dikemukaan kepada DPR guna memenuhi keharusan mendapat persetujuan untuk dijadikan UU sesuai pasal 22 Ayat (2) UUD 1945. Melihat dampak korupsi selama ini, rasanya tidak sulit bagi pemerintah untuk menjelaskan, Indonesia sedang darurat korupsi.
Jika tidak mampu membangun argumentasi bahwa negara dalam darurat korupsi, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan pendapat Wakil ketua Fraksi PDI-P Gayus Lumbuun dan anggota Fraksi Partai Demokrat, Benny Harman, bahwa substansi perpu sebaiknya dituangkan dalam RUU lalu dibahas bersama DPR dan pemerintah dengan skala prioritas. Jika langkah ini yang akan ditempuh, pemerintah harus meyakinkan mayoritas anggota DPR bahwa langkah besar harus dilakukan guna memerangi praktik korupsi.

Faktor Penghambat Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Ada beberapa faktor yang menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia diantaranya adalah:
a. Kurangnya kewibawaan pemerintah
Kurangnya kewibawaan pemerintah dimana anggota masyarakat bisa bersifat apatis terhadap segala anjuran-anjuran dan tindakan pemerintah.Sifat sifat yang demikian ini jelas bahwa ketahanan Nasional akan rapuh karena anggota masyarakat merasa dirinya tidak ikut bertanggung jawab dalam keutuhan nasional atau negara. Dalam situasi masyarakat yang demikian ini akan dapat dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik atau pihak ketiga lain yang tidak bertanggung jawab untuk merongrong kewibawaan pemerintah.

Jika kita ingat kembali terjemahan coruption di dalam bahasa Indonesia disebut jahat, busuk, mudah disuap maka dapatlah kita katakana penyuapan di Indonesia sudah menjadi penyakit masyarakat. Tentunya yang dimaksud dengan penyuapan ialah bahwa masyarakat Indonesia ini mau menerima suapan.
Bangsa Indonesia dengan gigih memperjuangkan wawasan Nusantara adalah untuk keamanandan ketahanan Nasional kita. Keamanan dan ketahanan itu akan menjadi rapuh jika benar-benar masyarakat Indonesia mudah disuap karena kekuatan asing yang hendak mendominir atau memaksakan Ideologi atau pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia akan akan menggunakan penyuapan sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan cita-citanya.bila aparat-aparat pendukung dan inti Ketahanan Nasional kita telah kejangkitan penyakit korupsi maka akan timbul hilangnya atau berkurangnya loyalitas aparat-aparat tersebut terhadap Negara dan Bangsa. Perasaan Nasionalisme akan menjadi berkurang yang menimbulkan peluang-peluang bagi Subversi komunis ataupun subversi lain di Indonesia.
b. Kurangnya mental pejabat pemerintah
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi ialah bahwa korupsi dapat merusak mental para pejabat pemerintah. Segala sesuatu akan dilihat dari kacamata materi saja sehingga lupa akan tugasnya sebagai pejabat pemerintah. Sebagai contoh mengenai seorang perwira menengah ABRI menjual rahasia pertahanan nasional bangsa ini kepada bangsa lain dalam hal ini kepada bangsa Rusia, dengan kata lain kedudukannya, pengetahuannya dan jabatannya dia nilai dengan materi sehingga rahasia negara yang seharusnya dia pegang teguh malah diuangkannya.
Pejabat-pejabat yang bermental korupsi berpikir dalam hatinya mengenai apa yang bisa diambil negara dan bangsa ini. Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh J.F.Kennedy pada waktu penyumpahan beliau sebagai presiden USA “Don’t ask what your do for your country can do for you, but ask your self what can you do for your country” yang terjemahannya sebagai berikut: “janganlah kau bertanya apa yang dapat diberikan oleh Negara kepadamu tetapi tanyalah kepada dirimu apa yang dapat kau sumbangkan kepada negaramu”.
Pada negara ini, sebagaimana juga di negara-negara lain yang sedang berkembang ucapan J.F.Kennedy ini diputar balikan tanpa memikirkan kelanjutan hidup dari pada bangsa dan negaranya. Sesuatu hal yang sangat berbahaya lagi adalah jika sampai generasi muda ini mencontoh sifat korupsi yang berjangkit dalam masyarakat Indonesia sekarang. Jika hal ini bisa terjadi maka cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang di cita-citakan bangsa ini semakin jauh dan tipis harapan-harapan untuk tercapai.
c. Kurang tegasnya hukum
Negara Indonesia adalah negara hukum dimana segala sesuatunya harus didasarkan kepada hukum jadi bukan berdasarkan pada kekuasaan oleh karenanya terwujudnya tertib hukum merupakan suatu keharusan bagi kitasemua. Tanggung jawab akan hal ini bukan hanya terletak pada penegak hukum saja tetapi merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia.
Bahwa cita-cita terwujudnya tertib hukum tidak akan dapat dicapai jika korupsi meraja lela di kalangan penegak hukum, sehingga hokum tidak dapat ditegakan terhadap penyelewengan atau pelaku-pelaku yang merong-rong ketertiban hukum itu.
Dari kejadian-kejadian selama ini jelaslah bahwa sebagian besar penegak hukum sudah bermental korupsi sehingga menurunkan wibawanya sebagai penegak hukum.seorang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum akan tetap bahagia dan tertawa sepanjang para penegak hukum masih dapat disuap dan hukum dapat dilumpuhkan dengan kekuatan uangnya.
Artinya ia masih dapat membeli keadilan dan pengadilan bahkan penjara sekalipun dapat dibeli dengan kekuatan uang yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa timbul suara-suara sumbang dalam masyarakat yang mengatakan bahwa orang kaya atau pejabat kebal terhadap hukum. Keadilan dapat debelokkan sesuai dengan seleranya sepanjang para penegak hukum tersebut masih dapat disuap.
Hukum dan keadilan telah dapat diombang-ambingkan oleh uang, sehingga berubah menurut selera si penyuap dan timbullah kepincangan-kepincangan dan keanehan-keanehan penegak hukum dalam masyarakat. Fakta-fakta korupsi di atas menyebabkan pembangunan dan pembinaan hukum nasional akan terhambat. Mental dan karakter para pejabat penegak hukum merupakan faktor utama bagi pembinaan hukum nasional dan masyarakat adil dan makmur.

Pemberantasan Korupsi di Indonesia Setelah Era Soeharto

Meski Soeharto telah mundur, berbagai tuntutan reformasi masih terus bergema dengan eskalasi yang juga semakin meningkat. Sati isu utama yang hari-hari terakhir ini memenuhi hampir semua media massa adalah pemberantasan korupsi.
Begitu bersemangatnya mereka meneriakkan penghancuran korupsi tersebut, sampai ada usulan untuk membuat UU Antikorupsi, padahal undang-undang yang dimaksud telah ada, yaitu UU No.3/1971. di samping itu juga telah ada UU No. 11/1980 tentang Tindak Pidana Suap. Bahkan jauh sebelumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah ada pasal-pasal yang juga masuk dalam anti korupsi. UU No. 3/1971 bukanlah undang-undang pertama yang mengatur pemberantasan korupsi karena sebelumnya telah ada dua peraturan tentang hal yang sama yaitu Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat No. Prt/Perpu/013/1958 serta Perpu No. 24/1960.

Tulisan ini ingin mengajak pembaca menengok kembali ke belakang ke periode sebelum terwujudnya UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang juga diwarnai berbagai unjuk rasa secara luas dalam pemberantasan korupsi serta melihat arah reformasi untuk menanggulangi korupsi itu.
Secara historis dapat menelusuri suatu keadaan di tanah air Indonesia pada tahun 50-an, seperti dijelaskan dalam penjelasan umum UU No. 24 Prp Tahun 1960, yang diwarnai merajalelanya perbuatan-perbuatan korupsi sebagai akibat dari suasana bahwa seakan-akan pemerintah seudah tidak mempunyai wibawa lagi. Untuk mengatasi hal itu, di tengah kondisi yang dinyatakan dalam keadaan perang (berdasarkan Kepres No. 225/1957), dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat 1958. kedua peraturan itu kemudian diubah menjadi Perpu No. 24/1960, yang kemudian atas dasar UU No. 1/1960 telah menjadi UU No. 24 Prp Tahun 1960.
Ternyata memberantas korupsi tidaklah cukup hanya dengan peraturan anti korupsi, kondisi itu juga terjadi pada massa itu. Meskipun telah ada dasar hokum yang khusus untuk melakukan pemberantasan korupsi, tetapi di dalam kenyataannya skandal-skandal korupsi bukan malah berkurang , sehingga di dalam rangka pemberantasan korupsi secara efisien dan menyeluruh Presiden membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dengan Kepres No. 228/1967.
Langkah yang ditempuh pemerintah sebenarnya sangat serius, sebab tak lama setelah dibentuknya TPK, pada tahun 1970 Presiden membentuk lagi Komisi Empat yang terdiri: Wilopo S.H., IJ Kasimo, Prof. Ir. Johannes dan Anwar Tjokoaminoto. Mereka mendapat tugas untuk mengadakan penelitian dan penilaian terhadap kebijaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pemberantasan korupsi dan memberi pertimbangan kepad pemerintah mengenai kebijaksanaan yang masih diperlukan dalam rangka pemberantasan korupsi. Pada tahun yang sama presiden juga mengangkat Dr. Moh. Hatta (alm) sebagai Penasehat Presiden dengan tugas memberikan pertimbangan kepada presiden dalam hal pemberantasan korupsi serta memberikan saran-saran kepada Komisi Empat untuk kelancaran tugasnya.
Apakah upaya-upaya tersebut mampu menjawab tantangan merebaknya korupsi dan mampu melindungi menguapnya dana Negara? Ternyata korupsi masih terus merajalela, uang Negara semakin deras menguap, korupsi kian merajalela. Banyak pihak menyorot efektivitas UU No. 24 Prp Tahun 1960 yang dirasakan tidak mencukupi, sehingga perlu diganti. Maka, singkatnya pada tahun 1971 lahirlah UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan begitu dimulailah era baru dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air dengan sarana atau senjata yang sebenarnya sangat mamatikan, karena luasnya cakupan/rumusannya meuun karena ancamannya,
Dengan berlakunya UU tersebut sebenarnya rakyat Indonesia dapat berharap bahwa pemberantasan korupsi yang efektif akan mulai menyingsing. Betapa tidak, banyak [erubahan-perubahan merugikan yang sebelumnya tidak dapat dijerat oleh hukum akhirnya menjadi tindak pidana.
Lebih jauh lagi ada beberapa hal penting sebagai kekecualian sekaligus perkembangan maju dari UU ini disbanding peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan sebelumnya. Pertama, peluasan arti pegawai negeri yang pengertiannya lebih luas dari pasal 1 a UU No. 8 Tahun 1974. dengan demikian mampu menjangkau lebih banyak pelaku korupsi. Kedua, mencakup lebih banyak lagi perbuatan-perbuatan korupsi (di samping 11 pasal yang sudah ada pada UU sebelumnya ditambah lagi dua pasal yaitu pasal 387 dan 338).
Ketiga, percobaan serta permufakatan untuk melakukan tindak pidana ini pun telah dapat dipidana dengan ancaman yang sama berat dengan ancaman pidana terhadap korupsi yang telah dikerjakan hingga selesai. Keempat, ketentuan pidana dalam UU ini memungkinkan penjatuhan sanksi penjara sekaligus dengan terhadap seorang terpidana (dalam KUHP tidak dikenal penggabungan seperti ini). Kelima UU ini juga lebih memperberat sanksi pidana dari UU sebelumnya. UU lama menetapkan penjara maksimal 12 tahun dan denda maksimal satu juta rupiah, sementara UU ini menentukan hukuman penjara sampai hukuman seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 30 juta rupiah. Dah keenam, UU ini menetapkan bahwa perkara korupsi harus didahulukan dari perkara-perkara yang lain untuk diajukan ke pengadilan.
Dari uraian di atas, yang sebenarnya belum mencakup semua perkembangan maju dari UU No. 3/1971 dibanding berbagai ketentuan sebelumnya, dapat dilihat bahwa sebenarnya dari segi peraturan perundang-undangan telah ada sarana yang tepat. Mengapa justru kebocoran uang Negara tidak berkurang, korupsi bahkan semakin membudaya di mana-mana (siapa, misalnya, yang tidak pernah melihat atau mengalami urusan dengan “uang rokok” atau “uang lelah”?
Angka-angka dalam jumlah spektakuler yang disebut para pengamat tentang kebocoran inefisiensi di negara ternyata tidak membuat pemerintah dengan cepat menyadari untuk segera melakukan reformasi dibidang ini.hingga kemudian terbuktilah bahwa bangunan ekonomi yang kita pandangi dengan kagum ternyata hanya berdiri di atas rongga besar yang mengerikan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah Baharuddin Lopa menjabat Menteri Kehakiman sekitar bulan Maret 2001, cita-citanya beserta penulis untuk menciptakan ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian di dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi segera direalisasikan dengan membentuk tim yang terdiri atas, antara lain Baharuddin Lopa, Adnan Buyung Nasution, Romli, Abdulgani Abdullah, Natabaya, Yusrida, Sri Hadiningsih, Indiranto Seno adji, Arifin dan Oka Mahendra. Jadi, maksud semula untuk mengubah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 hanyalah untuk menambahkan ketentunan tentang pembalikan beban pembuktian. Penulis merumuskan dua jenis ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian, yang pertama menyangkut pemberian (gratification) dalam jumlah satu juta rupiah ke atas, harus dilaporkan jika tidak dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Berarti penuntut umum hanya membuktikan satu bagian inti delik, yaitu adanya pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Bagian yang lain, seperti berhubugan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya dibebankan kepada terdakwa.

Rumusan ini diambil dari Pasal 42 ACA Malaysia dengan modifikasi tertentu. Baharuddin Lopa dan Romli mengusilkan agar jumlah uang atau hatra yang diterima bukan satu juta rupiah karena terlalu kecil, tetapi sepuluh juta rupiah.
Ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian yang lain juga penulis rumuskan yang sama dengan Rancangan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang ditolak itu, dengan perbaikan redaksi agar tdak menimbulkan berbagai interprestasi. Pembalikan beban pembuktian ini menyangkut perampasan harta benda terdakwa yang diperoleh setelah melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan. Jadi, harta yang diperoleh sesudah melakukan perbuatan korupsi yang dibuktikan dengan pembktian biasa, dianggap diperoleh juga dari perbuatan korupsi sampai dibuktikan sebaliknya.
Rumusan yang pertama diubah oleh DPR sehingga hilang artinya sebagai pembalikan beban pembuktian. Sementara itu, rumusan yang kedua diterima penuh. Dengan demikian, pembalikan bebasn pembuktian yang ada hanya satu macam saja yang terbatas pada perampasan harta saja.
Perubahan lain yang dicantumkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ialah tentang minimum khusus yang hanya berlaku bagi delik korupsi yang nilainya lima juta atau lebih. Sebenarnya, penulis mengusulkan dalam rancangan agar minimum khusus itu untuk delik yang berasal dari KUHP dihapus saja, DPR menolaknya sehingga dicapai kompromi seperti tersebut.
Penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “keadaan teretentu” untuk menjatuhkan pidana mati, juga diubah sesuai dengan rancangan bahwa bukan waktu yang menentukan tetapi peruntukan uang untuk keadaan tertentu itu yang dikorupsi. Menurut pendapat penulis, sebenarnya penjelasan tentang “keadaan tertentu” itu tidak sesuai dengan sistem hukum pidana Indonesia yang semua rumusan delik harus berupa definisi, harus dimasukkan dalam rumusan, bukan dalam penjelasan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dengan terbentuknya kabinet Habibie yang Muladi menjadi Menteri Kehakiman pada tahun 1998, dicanangkan untuk mempercepat penciptaan undang-undang. Dalam waktu singkat,kurang dri dua tahun, pemerintahan ini menciptakan undang-undang sama banyaknya dengan sepuluh tahun pemerintahan soeharto. Penciptaan undang-undang yang diutamakan antara lain perubahan atau penggantian Undang-undang No. 31 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rupanya bahwa anggapan bahwa yang kurang sempurna sehingga terjadi banyak korupsi ialah undang-undangnya padahal “orangnya” dan “sistemnya.”

Tim yang pertama dibentuk oleh Barda Nawawi Arief dan mengambil tempat di puncak, yang anggotanya antara lain: Loebby Loqman dan penulis bersama dengan orang-orang dari Departemen Kehakiman sendiri seperti Haryono dan Wahid. Setelah dipandang sudah lengkap antara lain dengan menciptakan minimum khusus, yang meliputu baik pidana penjara maupun pidana denda, pembedaan ancaman pidana bagi setiap delik sesuai dengan bobot delik itu serta kualifikasinya (usulan penulis), penambahan bahan peranan masyarakat yang diusulkan oleh Wahid, maka diadakanlah Tim Inter Departemen yang diketuai oleh Penulis dan mengadakan rapat di Departemen Kehakiman pada kuartal pertama tahun 1999. sekitar bulan Juli 1999 dibahaslah Rancangan ini di DPR. Pemerintah diawali oleh Menteri Muladi sendiri disertai dengan Dirjen Perundang-undangan Romli, penulis dan Loebby Loqman.
Dalam pembahasan di Pansus DPR itulah ditambahkan tentang pidana mati khusus untuk delik yang tercantum dalam Pasal 2 dalam keadaan “tertentu” yang kemudian dijelaskan apa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” itu seperti bencana alam nasional, keadaan bahaya dan krisis moneter dan ekonomi. Selain itu, ditambahkan pula tentang akan dibentuknya Komisi PPemberantasan Korupsi dalam waktu dua tahun setelah Undang-undang ini diundangkan. Usul ini berasal dari Fraksi PPP (Zain Badjeber). Sementara itu, rumusan tentang pembalikan beban pembuktian yang disusun oleh penulis ditolak, baik oleh sebagian anggota DPR maupun oleh menteri sendiri karena dipandang tidak jelas dan melanggar asas legalitas. Sewaktu pembahasan pidana mati dan penghapusan ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian yang disusun oleh penulis ini, penulis tidak hadir sehingga tidak sempat untuk mempertahankannya. Juga tentang ketentuan pidana mati dalam “keadaan tertentu” penulis merasa kurang tepat.
Dengan demikian, Undang-undang No. 31 tahun 1999 adalah undang-undang yang paling keras dan berat di ASEAN. Sayang, ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian tidak diterima. Andaikata diterima, tidak perlu diciptakan ancaman pidana demikian beratnya selama semua pelanggar dapat diajukan ke pengadilan dan semua kerugian Negara dapat dikembalikan ke kas Negara, sebagaimana berlaku di Malaysia dan Hongkong.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971

Telah dikemukakan juga di atas bahwa perumusan delik yang ada dalam Peraturan Pengusaha Perang Pusat tersebut diambil alih sepenuhnya oleh Undang-undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960 ini dengan sedikit perubahan. Pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b hanya kata “perbuatan” diganti dengan “tindakan” karena undang-undang ini memakai istilah “tindak pidana korupsi” bukan “perbuatan pidana korupsi”.
Pada sub c hanya ditambah Pasal 415, 416, 417, 423, 425, 435 KUHP.memang ini menjadi kekurangan Peraturan Penguasa Perang Pusat karena penggelapan oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi di samping masalah suap menyuap (Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP).

Bagaimanapun Undang-undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 lebih menguntungkan tertunda karena selain ancaman pidananya lebih ringan, juga perumusan deliknya lebih sulit dibuktikan oleh jaksa dari UU PTPK 1971 karena harus ada kejahatan atau pelanggaran lebih dahulu, kemudian membawa akibat seperti diuraikan di situ. Hal ini dapat disebut pembuktian ganda. Perumusan-perumusan delik dalam Undang-undang tersebut pertama tidak perlu diuraikan di situ karena pada prinsipnya sama saja dengan perumusan yang ada dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat.
1. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Seperti diketahui sejak lahir Orde Baru pada tahun 1966, suara-suara yang menghendaki pemberantasan korupsi lebih diperhebat, semakin hari bertambah nyaring, baik dalam bentu berita maupun dalam bentuk karangan di surat kabar, majalah, dalam pertemuan, diskusi, dan sebagainya yang bertemakan pemberantasan korupsi. Juga dikenal adanya Komite Antikorupsi pada awal Orde Baru.
Dalam Undang-undang ini berlaku asas legalitas yang ditetapkan dalam Pasal 36 sekarang menjelaskan , bahwa betapa pun eksepsional sifatnya perundang-undangan ini masih bergerak dalam kerangka Negara hokum Indonesia, di mana asas legalitas tersebut merupakan ciri khas dan suatu unsure essensial dan fundamental. Tidak begitu ‘lichtvaardig’, tidak begitu ringan tangan kita akan menghapus dan menyampingkan asas legalitas yang memungkinkan suatu peraturan pidana diperlukan surut kembali dari kehidupan.
Demikianlah secara singkat pembahasan Rencana Undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi, yang pada akhirnya disetujui dan disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 29 Maret 1971, dan diundangkan pada hari itu, termuat dalam Lembaran Negara tahun 1971 Nomor 19, dengan nama Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Reformasi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Dalam surat kabar-surat kabar pada akhir tahun 2001 anggota masyarakat ramai memberikan komentar. Pendapat umum menuntut agar suap-menyuap/korupsi di beri hukuman yang pantas. Di Negara Indonesia saai ini tiada hari tanpa seruan anti korupsi. Hal itu wajar sebab kerugian Indonesia memang luar biasa spektakuler akibat wabah yang saat ini. Mungkin sejak dari lahir republik ini, bangsa Indonesia telah bergelut dengan kasus-kasus pembocoran, penyunatan, “uang rokok”, dan pembobolan kekayaan rakyat.

Kini reformasi di bidang hukum bakal menyentuh pula ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana korupsi, yang hingga detik ini masih didasarkan pada Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan Laut)
Mungkin orang mengiran bahwa merajalelanya korupsi di Indonesia sekitar tahun 1957-1958 disebabkan antara lain oleh kurang lengkap dan efektifnya ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUHP. Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama ialah Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957, dan tanggal 1Juli 1957 Nomor Prt/PM/011/1957.
Berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan merugikan keuangan dan perekonomian Negara, yang oleh khalatak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi dan seterusnya.
2. Undang-Undang nomor 24 (PRP) tahun 1960 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi
Dari permulaan dapat diketahui bahwa peraturan Penguasa Perang Pusat tentang Pemberantasan Korupsi itu bersifat darurat, bersifat temporer, yang berlandaskan Undang-undang keadaan bahaya. Dalam keadaan normal ia perlu dicabut, dan jika masih dibutuhkan adanya peraturan tindak pidana korupsi sebagian dari hukum pidan khusus, perlu lebih baik dan berbentuk undang-undang.
Semua berbentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang, kemudian disahkan menjadi undang-undang. Karena bentuknya adalah peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yang dengan undang-undang Nomor 1 tahun 1961 dijadikan undang-undang, maka tidak pernah dibahas di DPR. Sebagaimana dikemukakan di depan, pemuat undang-undang memandang tidak perlu lagi ada peraturan tentang perbuatan korupsi bukan pidana karena bagaimanapun, dalam hal-hal seperti itu terbuka kemungkinan bagi pemerintah untuk menggugat perdata melalui Pasal 1365 BW terhadap pelaku perbuatan seperti itu.

Pemberantasan Korupsi Era SBY

Pemerintahan Presiden SBY sejak awal memfokuskan pemberantasan korupsi dalam program kerjanya. KPK dibentuk dengan landasan 6 undang-undang dan 2 Peraturan Pemerintah. Visi KPK mewujudkan Indonesia bebas korupsi, misinya pnggeran perubahan untuk mewujudkan bangsa yang anti korupsi. Walau badan ini kecil dengan personel terbatas, peran KPK sangat ditakuti. KPK mempunyai power besar mirip Kopkamtib, dilindungi undang-undang, disetujui masyarakat. Sasarannya pun lebih spesifik.

Secara hukum perannya sangat kuat, tetapi apakah secara politis juga kuat. KPK melaporkan hasil kepada Presiden, DPR, dan publik secara transparan. Sudah banyak kasus-kasus yang diberantas oleh KPK. Kasus-kasus mengkorupsi di Indonesia banyak terjadi dalam kurun waktu sebelum Desember 2004, namun selasa 15 Februari 2005, Mahkamah Konstitusi atau MK menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengambil alih penanganan kasus-kasus korupsi. Dengan demikian, MK telah melumpuhkan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia.
Memburu korupsi memang bukan persoalan mudah. Selain lihai dan licin, para koruptor juga bisa mengendalikan aparat penegak hukum. Melalui kaki tangan yang bergentayangan dilembaga-lembaga peradilan, mereka juga dengan mudah menekuk para jaksa dan hakim lewat “siraman dolar” yang menghijaukan mata.
Koruptor-koruptor kakap yang kini menikmati hidup mewah di singapur telah membentuk semacam asosiasi untuk saling melindungi incaran pemburu koruptor di Indonesia. Tak mengherankan jika Komisi Pemberantasan Korupsi harus bekerja ekstra melacak sepak terjang mereka. Ironisnya, yang terjaring justru para penegak hukum.

Perkembangan Korupsi Tahun 89" (Sesudah Aku Lahir)

Dalam pelita keempat yang meliputi jangka waktu 1 April 1984 sampai dengan 31Maret 1989, antara lain akan makin ditingkatkan usahaa-usaha untuk memperbaiki kesejahtraan rakyat, baik lahir maupun batin, mendorong pembagian pendapatan yang makin merata dan lebih memperluasan kesempatan kerja. Demikian pula akan ditingkatkan usaha-usaha untuk memecahkan masalah-masalah yang dalam Pelita ketiga telah ditangani tetapi masih belum dapat sepenuhnya terpecahkan seperti masalah peningkatan laju pembangunan di daerah-daerah tertentu, peningkatan produksi pangan dan kebutuhan produksi pangan lainnya, peningkatan kemampuan golongan ekonomi lemah, serta masalah lain diberbagai bidang pembangunan.

Masih dalam rangka pencegahan timbulnya perbuatan korupsi, Presiden RI, Soeharto, dalam bagian Pidato Kenegaraan di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1983, mengatakan: “Mengenai langkah-langkah penindakan oleh pihak Kejaksaan terhadap yang bersalah melakukan penyelewengan, korupsi dan sebagainya akan terus dilakukan.Pemerintah tidak akan bertindak setengah-setengah dalam hal ini. Langkah ini mendapat dukungan dikalangan masyarakat, sehingga diharapkan berkembang pula sanksi social dan sanksi moral terhadap korutor. Dengan demikian akan timbul sikap malu dan takut melakukan korupsi. Meskipun tindakan pemberantasan korusi ini akan terus dilaksanakan, namun ini toidak berarti bahwa aparatur kita telah demikian parah. Sebagian terbesar pejabat dan Pegawai Negeri telah melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Mereka adalah pengabdi-pengabdi yang bekerja dengan tertib dan tekun dengan penuh kejujuran. Dalam hubungan ini saya perlu memberi penegasan bahwa tindakan anti korupsi ini tidak perlu membawa ketakutan kepada siapapun, sebab hanya yang salahlah yang pantas mendayagunakan aparatur negara, Pemerintah berharap secepatnya menyelesaikan pembahasan RUU Peradilan tata Usaha Negara bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat” (Pidato Kenegaraan, Presiden Republik Indonesia, Soeharto, Di Depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, pada tanggal 16 Agustus 1983).

Perkembangan Korupsi Tahun 84" (Sebelum Aku Lahir)

Menurut penjelasan Bapak Jaksa Agung RI dalam menjawab pertanyaan Komosi III DPR pada tahun 1984 di Gedung DPR RI Jakarta, yang dikutip majalah DETIK nomor 0260 tanggal 23 Februari 1984, dinyatakan bahwa hasil-hasil yang dicapai dalam tahun ini jumlah perkara korupsi yang masuk terdapat 1.136 perkara dan telah diselesaikan sebanyak 207 perkara. Sedangkan dari kasusu manipulasi reboisasi dan persiapan pemukinam transmigrasi yang telah ditangani oleh Kejaksaan pada tahun 1983 terdapat 128 perkara reboisasi pada 14 propinsi dengan menimbulkan kerugian lebih dari Rp. 24.213.696.396,30 dan yang dapat diselamatkan sebesar Rp 989.388.284,01 atau lebih kurang 4.15 persen (pCt); perkara transmigrasi sebanyak 39 perkara pada 7 propinsi yang menimbulkan kerugian lebih dari Rp 4.343.404.061,- dan yang berhasil diselamatkan lebih kurang sebesar Rp 402.679.918,- atau lebih kurang 10 persen (pCt).

Kemudian dalam laporan Bapak Jaksa Agung RI kepada Bapak Presiden RI di Jl. Cendana , yang dikutip majalah JUSTICIA Edisi Perdana tahun 1984, dijelaskan bahwa dari sejumlah perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan selama tahun 1983 melibatkan 347 Pegawai Negeri dari 17 Departemen.
Perkara-perkara tindak pidana korupsi terkenal yang dilakukan oleh pihak swasta dalam kurun waktu 1971-1983 jumlahnya memang hany sedikit dibandingkan dengan yang dilakukan oleh pegawai Negeri, akan tetapi mempunyai kualitas yang cukup berbobot Nasional seperti perkara atas nama: ROBBY TJAHJADI, LIEM KENGENG, ENDANG WIDJAJA, YOJIRO KITA JIMA dan YOS SOTOMO.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, di atas, maka dapat disimpukan bahwa perbuatan korupsi telah merata dilakukan oleh semua lapisan masyarakat dan telah menjalar ke dalam tubuh sebagian besar Departemen yang ada di Negara Republik Indonesia., tidak terkecuali Departemen Sosial maupun Departemen Agama.
Departemen Sosial merupakan instantsi yang paling kompetan di bidang masalah-masalah sosial, ternyata beberapa Oknum pejabatnya telah melakukan penyelewengan/berbuat a-sosial dengan melakukan perbuatankorupsi seperti halnya dengan kasus yang di Kalimantan Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Departemen Agama yang merupakan Instansi yang paling kompeten di bidang pembinaan Keagamaan (berkaitan dengan moral dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), ternyata beberapa oknum pejabatnya telah melakukan penyelewengan/berbuat moral dengan melakukan korupsi seperti halnya dengan kasus penyelewengan biaya proyek Rehabilitasi 25 Rumah-rumah Ibadah/Masjid yang terjadi di daerah Tingkat II Lampung Tengah yang dikelola oleh Departemen Agama Propinsi Lampung DIP 1983/ 1984.
Dalam rangka pemberantasan dan pencegahan berkembang biaknya perbuatan korupsi ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya baik dengan cara melakukan pendekatan-pendekatan dan pemecahan-pemecahannya (preventif), maupun dengan cara melakukan penindakan-penindakan terhadap para pelakunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (represif), yang antara lain:
Undang-undang No. 20 tahun 2001, peraturan yang tercantum dalam undang-undang tersebut hanya merupakan prevensi tidak langsung yaitu agar supaya orang-orang lain tidak atau takut melakukan perbuatan korupsi atau yang bersangkutan (terpidana) merasa jasa untuk mengulangi perbuatan korupsi di kemudian hari.
Sejalan dengan usaha-usaha pemberantasan korupsi tersebut, sejak lahirnya Orde baru Tahun 1966. Pemerintah melalui pola Umum Pembangunan Jangka Menengah yaitu Pola Pembangunan Lima Tahun yang pelaksanaannya dimulai tahun 1969 dengan pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun yang pertama dan kedua, selanjutnya disusul dengan Pelita ketiga dan sekarang menjelang memasuki Pelita keempat selalu berusaha meningkatkan pendapatan Nasional dan pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan rasa keadilan, dan dalam rangka mencegah melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin dengan menumbuhkan asas hidup sederhana dan wajar.

Akibat Korupsi

Mengenai akibat korupsi, ada dua pendapat. Ada yang mengatakan korupsi itu tidak selalu berakibat negatif, kadang-kadang berakibat positif., ketika korupsi itu berfungsi sebagai uang pelicin bagaikan tangki minyak pelumas pada mesin. Pendapat pertama ini banyak dianut oleh peneliti Barat. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa korupsi itu tidak pernah membawa akibat positif, seperti Gunnar Myrdal yang mengatakan sebagai berikut.
a. Korupsi menetapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional.
b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang bersamaan dengan itu kesatuan Negara bertambah lemah. Juga karena turunnya martabat pemerintah, tendensi-tendensi itu mambahayakan stabilitas politik.

c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap itu tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi biasanya juga berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi agar dengan demikian dapat menerima uang suap. Di samping itu, pelaksanaan rencana-rencana yang sama. Dalam hal itu Myrdal bertentangan dengan pendapat yang lazim, bahwa korupsi itu harus dianggap sebagai semir pelicin.

Myrdal menyebut Negara-negara di Asia Selatan sebagai the soft state yang merajalelanya korupsi merupakan sebagai satu aspek dan pada umumnya mengakibatkan disiplin sosial yang rendah. Korupsi merupakan hambatan besar bagi pembangunan. Koentjaraningrat pun memandang korupsi sebagai salah satu kelemahan dalam pembangunan. Beliau mengatakan sebagai berikut.
“Jelas bahwa banyak yang masih harus kita ubah kalau kita hendak mengatasi penyakit-penyakit sosial budaya yang pernah seperti krisis otoritas, kemacetan administrasi, dan korupsi menyeluruh yang sekarang mengganas dalam masyarakat Indonesia. Bagaimana caranya mengubah mentalitas lemah itu, dan membina mentalitas yang berjiwa membangun? Menurut hemat saya ada empat jalan yaitu: (1) dengan memberi contoh yang baik (2) dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok (3) dengan persuasi dan penerangan; dan (4) dengan pembinaan dan pengasuh suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang sejak kecil dalam kalangan keluarga.
Sepeti diketahui bahwa pendapatan negara diperoleh antara lain dari sektor pungutan bea masuk dan bea ke luar serta penerimaan pajak. Penerimaan atas dua faktor ini digunakan untuk menunjang pembangunan dan pembinaan bangsa. Pendapatan negara dapat berkurang apabila pungutan bea masuk dan bea ke luar dan penerimaan pajak tidak dapat diselamatkan karena adanya penyelundupan dan penyelewengan pajak-pajak negara oleh oknum-oknum pada kedua sektor tersebut. Penyelewengan tersebut dapat terjadi karena adanya korupsi. Khusus di dalam penyelundupan impor karena adanya korupsi tersebut di samping hilangnya sebagian bea masuk yang seharusnya masuk dalam kas negara juga barang impor tersebut dapat memukul produksi dalam negeri oleh karena jika tidak diawasi secara ketat barang impor tersebut secara relatif dapat lebih murah dibandingkan barang produksi dalam negeri.
Sebagai contoh riil dalam penyelundupan ini adalah kasus dari Robby cahyadi yang bekerja sama dengan kepala Pemberantasan Penyelundupan Bea dan Cukai Tanjung Priok dimana keuangan negara yang seharusnya masuk dalam kas negara telah hilang sama sekali akibat pelarian bea masuk karena permainan oknum-oknum tersebut.
Negara kita pada saat ini banyak mendapat bantuan dari luar negeri khususnya dari IGGI untuk Pembangunan Nasional dan Pembinaan Bangsa. Untuk menginvestasikan bantuan-bantuan tersebut dalam masyarakat disalurkan melalui bank-bank Pemerintahan artinya bank-bank tersebut yang menyeleksi siapa-siapa dan perusahaan mana yang dapat diberikan kredit.
Sebagai contoh kita ambil fakta-fakta pemberian kredit oleh bank-bank Pemerintah di Kalimantan Barat sampai akhir tahun 1974. Dari jumlah 52 industri : 4 pabrik cold strorage 3 industri tri minyak kelapa – 28 industri shaw mill 2 industri plywood – 14 industri crumb rubber dan 1 pabrik seng yang dari jumlah semuanya ini di antaranya terdapat 5 perusahaan joint venture dengan modal atau investasi keseluruhannya: Rp 18.253,8 juta (delapan belas milyar dua ratus lima puluh tiga juta delapan ratus ribu rupiah).
Dari jumlah ini hanya 10,5% di antaranya adalah modal pribumi dan 89,5% dalah investasi golongan non pribumi cina. Seluruh investasi disektor industri yang ditamankan sejumlah 89,5% adalah milik golongan nonpribumi cina, investasi mana sebagian besar diperoleh dari kredit bank-bank Pemerintah tersebut. Dari seluruh jumlah kredit untuk pertumbuhan industri di Kalimantan Barat, 85% di antaranya diberikan kepada golongan Cina jadi hanya 15% kredit diberikan untuk golongan pribumi. Mengenai kredit ini dapat dikemukakan pula pada suatu jangka waktu tertentu terdapat 143 permohonan kredit semuanya dari golongan ekonomi lemah atau golongan pribumi untuk satu sektor usaha. Dari 143 permohonan kredit hanya sejumlah: Rp 80.200.000,- yang dikabulkan sehingga dari sini dapat diketahui bahwa berpuluh-puluh milyar kredit investasi dan kredit perdagangan yang diberikan oleh bank-bank untuk semua sektor usaha hanya ratusan juta saja yang diterima oleh tangan pengusaha lemah yang umumnya terdiri dari golongan pribumi. Beberapa faktor dominananya golongan non pribumi/khususnya golongan Cina dan penyelundupan-penyelundupan yang dilakukannya yang secara langsung maupun tidak langsung melumpuhkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dari fakta-fakta di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberi kredit tersebut tidaklah adil, oleh karena diduga keras adanya korupsi atau cenderung mengarah pada adanya korupsi dalam pelaksanaan pemberian kredit tersebut.

Sebab-sebab Terjadinya Korupsi

Dahulu korupsi yang bermotif ganda jarang dilakukan. Paling yang ada, ialah korupsi material yang sederhana sifatnya. Sebabnya, di samping memang obyek yang akan dikorup terbatas adanya, juga moral masih belum banyak terkena erosi. Dahulu rasa harga diri dan menjaga martabat pribadi masih sangat kuat, sebab umumnya orang merasa sangat malu kalau dijadikan buah bibir orang sebagai penyeleweng atau koruptor, yang sekarang hal tersebut sudah luntur. Kalau dahulu ada perbuatan korupsi y6ang bermotif ganda, itu umumnya secara kebetulan saja. Artinya, si koruptor tidak sadar kalau perbuatannya itu di samping menggerogoti uang, juga bermotif dan dapat berakibat lain seperti umumnya terjadi dewasa ini.

Kini korupsi sangat kejam dan munafik, karena sering penyuapan diiringi dengan maksud menjatuhkan si pejabat yang menerima suap. Dilain pihak, si penerima suap sudah sangat berani meminta sesuatu dengan berbagai macam cara (cara halus dan kasar) dengan alasan balas jasa, seolah-olah ia sendiri tidak mendapat nafkah dari Negara. Bahkan, dibandingkan dengan korupsi yang terjadi di masa lampau yang oleh beberapa sarjana, antara lain Prof. W.F. Werheim dikatakan karena pengaruh pendatang feudal (kebiasaan penduduk memberikan upeti-upeti kepada raja) dan yang tetap tidak kita setujui, koruptor dewasa ini lebih kejam lagi sifatnya. Banyak di antaranya yang hanya hidup berfoya-foya, sementara rakyat di sekelilingnya masih hidup melarat.

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut:
a. Lemahnya pendidikan agama dan etika.
b. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
c. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar dan terpandang sehingga alas an ini dapat dikatakan kurang tepat.
d. Kamiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melaikan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.
e. Tidak adanya sanksi yang keras.
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi.
g. Struktur pemerintah.
h. Perubahan radikal. Pada saat system nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.
i. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
Huntington menulis sebagai berikut. Korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih umum di masyarakat yang satu daripada yang lain, dan dalam masyarakat yang sedang tumbuh korupsi lebih umum dalam suatu periode yang satu dari yang lain. Bukti-bukti menunjukan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat.
Penyebab modernisasi mengembangbiakkan korupsi dapat disingkat dari jawaban Huntington berikut:
a. Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat.
b. Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan pilitik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan-golongan berpengaruh dalam masyarakat.
c. Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang diakibatkannyadalam bidang kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di Negara-negara yang memulai modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaan pemerintahan dan melipatgandakan kegiatan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah.


Pengertian Korupsi

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu, corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu "korupsi".
Salah satu definisi korupsi di dalam kamus lengkap Webster’s Third New International Dictionary adalah “ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas.” Definisi yang luas ini mencakup sebagian besar kegiatan haram yang ditemukan oleh hakim plana di dalam BIR.

Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Di sana tidak dipakai kata korupsi melainkan dipakai istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswah), yang menurut Kamus Arab-Indonesia artinya sama dengan Korupsi. Seperti di simpulkan dalam Encyclopedia Americana,korupsi itu adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat, dan bangsa.
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak, jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kanyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau apatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangant luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingna pribadi dan orang lain.
2. Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Adapun menurut Subeki dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum, yang dimaksud corruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan Negara. Baharuddin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepemimpinan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum). Dikatakan pula, disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and walfare, with or without the implied payment of many, is usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption includes puchase of vote with money, promises of office or special favor, coercion, intimidation, and interference with administrative ofjudicial decision, or governmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi,atau keputusan yang menyangkut pemerintahan). Pengertian Korupsi berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1971, lebih luas, yang jika disimpulkan terdiri dari perbuatan seseorang yang merugikan keuangan Negara dan yang membuat aparat pemerintah tidak efektif, efisien, bersih dan berwibawa. Jika hal ini dipahami maka dapat diketahui bahwa tujuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah : 1) Mencegah kerugian keuangan Negara 2) Mencapai aparat pemerintah yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa.