Rabu, 24 Februari 2010

Manusia Yang Dzalim Adalah Yang Korupsi

Salah satu bentuk kezhaliman yang dilakukan manusia adalah suap-menyuap. Upaya tersebut biasa dilakukan seseorang dengan sesamanya dalam upaya memperoleh sesuatu yang diinginkannya. Suap-menyuap merupakan perbuatan yang dikutuk Allah karena dengan pelaku perbuatan tersebut telah menghalalkan sesuatu yang batil atau memebatalkan yang hak.
Ada beberapa istilah yang dipakai orang untuk mengemas “suap” diantaranya “uang pelicin”, “uang lelah” dan “uang administrasi” biasanya jumlah uang suap bervariasi tergantung dari perjanjian pihak yang bersepakat.

Budaya suap di Indonesia saat ini sudah menjadi virus sosial yang sangat berat dan telah menjalar mulai dari akar rumput sampai pada tingkat tertinggi tak terkecuali pengusaha. Para penguasa menggunakan suap untuk membujuk para pemilih agar mau memilih mereka menjadi pemimpin yang bisa terjadi saat menjelang pemilihan baik pemilihan umum, pilkada, sampai pilkades yang disebut dengan “serangan fajar.” Suap-menyuap juga dilakukan para mafia peradilan mulai dari hakim, pengacara, dan jaksa serta polisi. Demikian halnya suap-menyuap terjadi dalam penyaringan tenaga pegawai calon-calon pegawai negeri sipil dan kepala sekolah serta jabatan-jabatan lainnya. Bahkan, suap pun terjadi pada dunia pendidikan dimana ada orang tua membayar uang masuk sangat besar agar anaknya diterima di lembaga pendidikan yang diinginkan mulai dari tingkat SD, SLTP, SMU hingga perguruan tinggi. Sungguh merupakan suatu ‘aib yang memalukan karena bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama justru mengingkari norma-norma Tuhan yang tertuang dalam kitab suci.
Demi tercapainya pemberantasan tindak pidana korupsi yang epektif di Indonesia maka Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa tentang Suap (Risywah), Korupsi (Ghulu). Bahwa pengertian risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiahkepada pejabat atau menerima hadiah dari masyarakat, kini banyak dipertanyakan kembali oleh masyarakat. Bahwa oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum masalah dimaksud.

Firman Allah SWT yang artinya:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusa) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(Al-Baqarah :188)

Kaidah Fiqhiyah:

“Sesuatu yang haram mengambilnya haram pula memberikannya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar