Selasa, 23 Februari 2010

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah Baharuddin Lopa menjabat Menteri Kehakiman sekitar bulan Maret 2001, cita-citanya beserta penulis untuk menciptakan ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian di dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi segera direalisasikan dengan membentuk tim yang terdiri atas, antara lain Baharuddin Lopa, Adnan Buyung Nasution, Romli, Abdulgani Abdullah, Natabaya, Yusrida, Sri Hadiningsih, Indiranto Seno adji, Arifin dan Oka Mahendra. Jadi, maksud semula untuk mengubah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 hanyalah untuk menambahkan ketentunan tentang pembalikan beban pembuktian. Penulis merumuskan dua jenis ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian, yang pertama menyangkut pemberian (gratification) dalam jumlah satu juta rupiah ke atas, harus dilaporkan jika tidak dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Berarti penuntut umum hanya membuktikan satu bagian inti delik, yaitu adanya pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Bagian yang lain, seperti berhubugan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya dibebankan kepada terdakwa.

Rumusan ini diambil dari Pasal 42 ACA Malaysia dengan modifikasi tertentu. Baharuddin Lopa dan Romli mengusilkan agar jumlah uang atau hatra yang diterima bukan satu juta rupiah karena terlalu kecil, tetapi sepuluh juta rupiah.
Ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian yang lain juga penulis rumuskan yang sama dengan Rancangan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang ditolak itu, dengan perbaikan redaksi agar tdak menimbulkan berbagai interprestasi. Pembalikan beban pembuktian ini menyangkut perampasan harta benda terdakwa yang diperoleh setelah melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan. Jadi, harta yang diperoleh sesudah melakukan perbuatan korupsi yang dibuktikan dengan pembktian biasa, dianggap diperoleh juga dari perbuatan korupsi sampai dibuktikan sebaliknya.
Rumusan yang pertama diubah oleh DPR sehingga hilang artinya sebagai pembalikan beban pembuktian. Sementara itu, rumusan yang kedua diterima penuh. Dengan demikian, pembalikan bebasn pembuktian yang ada hanya satu macam saja yang terbatas pada perampasan harta saja.
Perubahan lain yang dicantumkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ialah tentang minimum khusus yang hanya berlaku bagi delik korupsi yang nilainya lima juta atau lebih. Sebenarnya, penulis mengusulkan dalam rancangan agar minimum khusus itu untuk delik yang berasal dari KUHP dihapus saja, DPR menolaknya sehingga dicapai kompromi seperti tersebut.
Penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “keadaan teretentu” untuk menjatuhkan pidana mati, juga diubah sesuai dengan rancangan bahwa bukan waktu yang menentukan tetapi peruntukan uang untuk keadaan tertentu itu yang dikorupsi. Menurut pendapat penulis, sebenarnya penjelasan tentang “keadaan tertentu” itu tidak sesuai dengan sistem hukum pidana Indonesia yang semua rumusan delik harus berupa definisi, harus dimasukkan dalam rumusan, bukan dalam penjelasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar